Hikmah Malam: Apa Boleh Umat Islam Mendengarkan Musik? Berikut Penjelasannya

Umat Islam Mendengarkan Musik
Umat Islam Mendengarkan Musik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.idMusik merupakan bagian dari seni. Musik juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bagaimana perspektif Islam tentang musik?

Mendengarkan musik atau memainkan alat musik sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan. Namun, sebagai seorang Muslim, jelas ada aturan musik yang harus menjadi pedoman dalam Islam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mengutip Aabidah Ummu ‘Aziizah dkk. Dalam buku yang disusun, ceramah tentang “Kuliah Adab”, aturan musik dan hukum mendengarkan dan menyanyikan lagu dijelaskan dalam ajaran Islam.

Hukum musik, bernyanyi , dan seni sebenarnya boleh dan sesuai dengan fitrah manusia yang memberikan kenikmatan pada keindahan. Musiknya dinamis sehingga dapat disesuaikan dengan suasana.

Islam tidak melarang umatnya untuk mengekspresikan diri lewat seni, termasuk soal musik. Umat muslim diperbolehkan mendengarkan musik dan lagu asalkan tidak berlebihan serta tidak menimbulkan hal yang menyebabkan keburukan.

Pandangan NU tentang Musik

Melansir laman NU, dijelaskan bahwa bermusik sebenarnya hal yang diperbolehkan. Merujuk pada dua kitab, Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali dan al-Fiqh ‘al-Madzahib al-Arba’ah karya Syekh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri.

Terdapat sejumlah nama sahabat, tabiin dan ulama yang membolehkan musik. Imam al-Ghazali memberi apresiasi begitu tinggi terhadap seni, termasuk musik dan nyanyian. Dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menyampaikan, “Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.”

Masih menurut al-Ghazali, “Abu Thalib al-Makki mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik.

Abu Thalib al-Makkî mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan Allah untuk menyebut nama-Nya, seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini. Hingga kami menemukan Qadli Marwan, dia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi. Atha’ juga memiliki dua budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya.

Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abu Hasan bin Salim, ‘Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal al-Junaid, Sari Saqathi, Dzun Nun membolehkan?’ Ia menjawab, ‘Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian padahal ada orang yang lebih baik dari aku yang membolehkan dan mendengarkan?’ Sungguh ‘Abdullah bin Ja’far ath-Thayyar mendengarkan nyanyian. ‘Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian.’”

Pandangan Muhammadiyah tentang Musik

Melansir laman resmi Muhammadiyah, dijelaskan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mendengarkan musik. Dalam fatwa Tarjih disebutkan jika seni musik membawa pada kemanfaatan maka hukumnya boleh.

Apabila bermusik hanya membuang waktu saja tanpa memberikan faedah maka hukumnya makruh, dan jika keluar dari koridor syari’at agama maka hukumnya menjadi haram.

Beberapa ulama menginterpretasikan larangan terhadap aktivitas bermusik sebagai bagian dari upaya menghindari “percakapan kosong atau sia-sia.” Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Lukman ayat 6,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.

Dalam konteks nyanyian, jika teksnya memuat pesan yang mengajak kepada kebaikan, maka tidaklah termasuk dalam larangan tersebut.

Hukum Bermusik bagi Muslim

Muhammadiyah mengkategorikan hukum bermusik dalam tiga klasifikasi,

  1. Apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan
  2. Apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan semata tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram.
  3. Apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.

Menurut pandangan NU yang merujuk pada pernyataan Imam al-Ghazali, bermusik menjadi haram apabila menggunakan instrumen alat musik yang dilarang. Sejatinya tidak semata-mata instrumen alat musik itu yang menyebabkan haramnya nyanyian, melainkan karena ilat (sebab)nya alat-alat itu identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk.

“Semua alat musik itu boleh kecuali seruling dan gitar, karena bagian dari syiar orang-orang yang buruk.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din)

“Dengan alasan ini pula haram menabuh gendang atau drum, yaitu sejenis alat musik tabuh panjang yang memiliki lobang di tengah, dan lebar kedua sisinya. Menabuh gendang ini adalah kebiasaan waria. Andaikan tidak ada kesamaan dengan kebiasaan waria maka boleh, seperti gendang haji dan perang.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din)

Zaman sekarang, gitar dan seruling tidak lagi identik dengan musik-musik orang yang berperilaku buruk. Alat musik seperti gitar, seruling, gendang dan drum saat ini tidak lagi identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk.

Berbagi alat musik dan seni musik saat ini banyak dipakai untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah.

Wallahu ‘alam

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *