Profil Gus Baha Ulama Kharismatik Kesayangan Mbah Moen

Profil Gus Baha Ulama Kharismatik Kesayangan Mbah Moen
Gus Baha. Foto/dok ist
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ketika sang ayah menawarkan kepadanya untuk mondok di Rushaifah atau Yaman, beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamater, Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

KEPRIBADIAN

Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau.

Diceritakan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangannya hingga kini.

Beliau mengutarakan bahwa kehidupannya bukanlah model kehidupan yang mewah, melainkan sangat sederhana, dan berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut dengan maksud, agar ia tidak kecewa di kemudian hari.

Calon mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan “klop” alias sami mawon kalih kulo.

Saat berangkat ke Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya, beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular, bus biasa kelas ekonomi.

Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan.

Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Beliau hidup sederhana bukan karena keluarganya miskin.

Silsilah keluarga dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di mana beliau diasuh semenjak kecil, tiada satu keluargapun yang miskin. Bahkan kakek beliau dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya.

Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaannya, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur’an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya.

Salah satu wasiat ayahnya adalah agar beliau menghindari keinginan untuk menjadi “manusia mulia” dari pandangan kerumuman makhluk atau lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan sehari-hari.

Setelah menikah, beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya dan menetap di Yogyakarta sejak 2003.

Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya, berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Semenjak hijrah ke Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya.

Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogya, patungan menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepadanya.

Ada sekitar 5 atau 7 santri alumni Al Anwar maupun MGS yang ikut beliau ke Yogya saat itu.

Di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar yang akhirnya minta ikut mengaji kepada beliau.

Pada tahun 2005 KH. Nursalim jatuh sakit. Beliau pulang sementara waktu untuk ikut merawat sang ayah bersama keempat saudaranya.

Namun siapa sangka, beberapa bulan kemudian Kiai Nursalim wafat. Gus Baha’ tidak dapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogya sebab diamanati oleh ayahnya untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan.

Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Para santri sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Beliau pun bersedia namun hanya satu bulan sekali, dan itu berjalan hingga kini.

Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur’an Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Beliau juga diminta untuk mengasuh Pengajian tafsir al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur.

Di Yogya mendapat gilirang minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut dijalani secara rutin sejak 2006 hingga kini.

Beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor, dan ahli-ahli al-Qur’an seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional lain.

Ketika ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, beliau tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir al-Qur’an di Indonesia, beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.

Meski demikian, kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir nasional.

Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai Mufassir, juga sebagai mufassir fakih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur’an.

Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan Mushaf al-Qur’an, posisi beliau selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai fakihul Qur’an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam al-Qur’an.

Sumber: mantrasukabumi