Hajinews.co.id – Memukul yang dimaksud bukan dengan pukulan yang mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan.
Pemukulan juga tidak boleh dilakukan pada wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Muhammad bin Jarir at-Thabari dalam kitab Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân. Pemahaman demikian ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tepatnya pasal 6 yang menyatakan: “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Ketiga, pemukulan tidak boleh dilakukan karena didahului permusuhan atau pertikaian antara suami istri. Jika sebelumnya sudah terjadi pertikaian, suami tidak boleh memukul istri meskipun dalam rangka mendidiknya. Jika istri masih membangkang atau tidak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya adalah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam kitab Hâsyiyah I’ânatut Thâlibîn. Keempat, jika istri hanya akan jera dengan pukulan yang membahayakan, maka suami sama sekali tidak boleh memukul istri, baik pukulan yang ringan apalagi yang membahayakan dengan alasan apa pun.
Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj. Oleh karena itu, tidak ada alasan apapun yang dapat dijadikan pembenaran tindakan KDRT terhadap istri. Apalagi sampai membawa-bawa Al-Qur’an dan ajaran Islam sebagai alasan pembenarannya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul