Pokoknya, Defisit APBN 2019 Akan Di Atas 2,2%

Awalil Rizky(dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Awalil Rizky

Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa defisit hingga 30 november 2019 sebesar Rp368 triliun atau 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Telah melampaui target APBN yang hanya Rp 296 triliun atau 1,84% PDB.

Namun, defisit diyakini dapat ditekan hingga di kisaran 2,1-2,2% pada akhir tahun 2019. Secara tegas dikatakan,” pokoknya di kisaran 2,2 persen bukan di 2,3 persen.”

Menteri harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan perkataannya itu. Bagaimana agar pendapatan dapat meningkat pesat selama satu bulan tersisa. Dan harus menekan belanja agar tidak bertambah signifikan.

Pendapatan Negara baru mencapai Rp1.677,11 triliun. Sedikit meningkat dibanding periode yang sama tahun 2018 yang sebesar Rp1.662,92 triliun. Jika dilihat dari realisasi atas target APBN yang hanya 77,5% itu, maka jauh lebih rendah dari tahun 2018 yang mencapai 87,8%.

Realisasi Pendapatan hingga akhir tahun dipastikan tidak akan mencapai target APBN sebesar Rp2.168,1 triliun. Bahkan, ada risiko capaiannya di bawah tahun 2018 yang sebesar Rp1.943,67 triliun. Selama 10 tahun terakhir, realisasi yang lebih rendah hanya pernah terjadi pada tahun 2015.

Dalam sebulan tersisa dibutuhkan tambahan pendapatan sebesar Rp266,56 triliun agar sama dengan realisasi tahun lalu. Secara teoritis memang masih dimungkinkan karena pada tahun lalu, dalam sebulan terakhir berhasil ditambah Rp280,75 triliun.

Potensi tambahan yang sangat signifikan berasal dari penerimaan perpajakan. Pada bulan Desember biasanya memang naik pesat. Baik karena kerja keras fiskus yang wajar, maupun upaya “injak kaki” para wajib pajak tertentu.

Selama bulan Desember tahun 2018 diperoleh tambahan penerimaan perpajakan sebesar Rp217,27 triliun. Dengan kondisi perekonomian yang melemah saat ini, wajarnya hanya bisa ditingkatkan sebesar Rp240 triliun. Dengan upaya amat keras (extra effort), mungkin mencapai Rp250 triliun.

Target penerimaan perpajakan APBN ditetapkan sebesar Rp1.786,38 triliun. Pemerintah telah menyadari itu tidak akan tercapai, sejak pertengahan Agustus lalu. Saat itu, outlook realisasi hingga akhir tahun hanya sebesar Rp1.643,08 triliun. Shortfall perpajakan diprakirakan sebesar Rp143,3 triliun.

Jika Pemerintah berhasil menambah penerimaan perpajakan sebesar Rp250 triliun selama bulan desember, maka realisasi setahun menjadi Rp1.562 triliun. Shortfall perpajakan tetap membengkak menjadi Rp224 triliun.

Realisasi pendapatan tahun 2018 sangat terbantu oleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sebulan terakhir bertambah Rp58,6 triliun. Terutama didukung oleh penerimaan sumber daya alam (SDA). Hal yang akan sulit terjadi pada tahun 2019, mengingat perkembangan harga komoditas saat ini. Tambahan diprakirakan maksimal akan sebesar Rp25 triliun.

Pada tahun 2018 juga terdapat kenaikan hibah sebesar hampir Rp5 triliun pada bulan Desember. Sesuatu yang juga tidak akan terjadi lagi pada tahun 2019.

Dari rincian itu, maka tambahan Pendapatan kemungkinan hanya akan Rp275 triliun selama satu bulan tersisa.

Cara yang paling mungkin untuk memenuhi perkataan “pokoknya defisit hanya di kisaran 2,1-2,2%” adalah dengan menekan laju belanja pada bulan Desember.

Asumsi PDB dalam APBN tahun 2019 sebesar Rp16.087 triliun. Sedang dalam APBN Kita terkini adalah sebesar Rp16.040 triliun. Defisit sebesar Rp368 triliun merupakan 2,3% dari PDB. Jika ingin menekan menjadi 2,2%, maka harus diturunkan menjadi di bawah Rp353 triliun.

Dengan prakiraan pendapatan menjadi sebesar Rp1.952 triliun, maka belanja tidak boleh melebihi Rp2.305 triliun. Atau maksimal tambahan selama bulan Desember sebesar Rp259 triliun. Padahal, tambahan belanja selama bulan Desember tahun 2018 sebesar Rp271 triliun.

Tentu saja lebih mungkin bagi Pemerintah untuk “memaksakan” pengurangan belanja dibanding mencari “tambahan luar biasa” selama sebulan terakhir realisasi APBN. Pemerintah menyebutnya sebagai optimalisasi belanja.

Dilaporkan bahwa defisit telah dapat diturunkan menjadi 2,21% dari PDB, selama 13 hari bulan Desember. Untuk menekannya lagi menjadi di bawah 2,2% selama setengah bulan terakhir, maka pasti lah optimalisasi belanja akan lebih dipaksakan.

Jika demikian, maka klaim tentang fungsi stabilisasi sebenarnya menjadi kurang meyakinkan. Berulangkali dikatakan bahwa fungsi stabilisasi APBN untuk perekonomian Indonesia nyata terlaksana di tengah ketidakpastian ekonomi global. APBN bersifat countercyclical yang memberikan stimulus fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bagaimanapun, optimalisasi belanja akan menyasar beberapa alokasi yang sebenarnya sedang dibutuhkan perekonomian. Terutama dalam kaitannya dengan daya beli masyarakat yang sedang lesu.

Salah satu contoh adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Realisasi yang cukup jauh dari target jelas akan sangat mempengaruhi APBD banyak daerah. Dan di lapangan, akan ada banyak kesulitan bagi para rekanan Pemda yang telah mengerjakan proyek atau penyediaan barang dan jasa, namun belum diselesaikan pembayarannya.

Begitu pula dengan jenis belanja barang dan belanja modal, yang dalam realisasinya berkaitan dengan banyak rekanan yang telah bekerja dan mengeluarkan biaya terlebih dahulu. Tidak mustahil pula, sebagian BUMN yang menggunakan “turnkey schemes” akan terganggu likuiditasnya akibat optimalisasi Belanja.

Penulis berpandangan sebaiknya Sri Mulyani tidak perlu mengatakan pokoknya defisit di bawah 2,2%. Lebih baik mengelola APBN dengan pertimbangan perekonomian secara keseluruhan. (*)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *