Hajinews.co.id – Ketika seorang pria menikahi wanita yang disukainya, dia juga memberikan harta, uang, atau barang berharga lainnya kepada wanita tersebut. Inilah yang disebut mahar atau maskawin.
Namun ajaran Islam mengajarkan beberapa mahar yang tidak diperbolehkan. Perlu diingat bahwa mahar merupakan salah satu syarat sah pernikahan yang harus diberikan kepada mempelai wanita.
Dilansir dari dari buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi seorang calon suami apabila ingin menikahi seorang wanita yaitu dengan memberikan mahar. Perintah memberikan mahar ini termaktub dalam surah An Nisa ayat 4:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا ٤
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
6 Mahar Pernikahan Terlarang Menurut Ajaran Islam
Mengutip buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 2: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab karya Ibnu Rusyd terjemahan Al Mas’udah dijelaskan beberapa jenis mahar yang tidak sah dalam agama Islam. Berikut di antaranya:
- Mahar Benda Terlarang
Mahar yang dimaksud adalah mahar berupa khamr (minuman keras), babi, buah-buahan yang belum tentu matang, atau unta yang terlepas. Bila maharnya berupa hal-hal tersebut, hukum akadnya bisa diperdebatkan. Seperti pendapat Imam Abu Hanifah mengatakan akad tetap sah meski terdapat mahar mitsil.
Imam Malik mempunyai pendapat berbeda, menurutnya akan rusak dan batal baik istri sudah digauli atau belum.
- Mahar yang Cacat
Imam Syafi’i berpendapat seorang istri bisa meminta harga dari mahar yang cacat, tetapi suatu ketika berpendapat istri dapat meminta mahar mitsil. Ada juga pendapat mazhab Maliki, istri dapat meminta dalam bentuk barang yang sama.
- Mahar Titipan untuk Ayah Pihak Wanita
Untuk konteks ini, berlaku bila lelaki menikahi seorang wanita lalu mempersyaratkan dalam maharnya ada pemberian untuk ayah mempelai wanita. Mahar seperti ini layaknya seorang wakil dalam jual beli yang menjual barangnya lalu mempersyaratkan adanya suatu pemberian untuk dirinya maka pernikahan tidak boleh dilakukan.
Pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, dan Abu Ubaid. Abu Dawud, Nasa`i, dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى حِبَاءٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحَ فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكْرِمَ الرَّجُلُ عَلَيْهِ ابْنَتُهُ وَأُخْتُهُ
Artinya: “Wanita mana pun yang menikah dengan mahar pemberian sebelum akad nikah dilakukan, maka itu miliknya. Tetapi apa-apa yang diberikan setelah akad nikah, maka itu milik orang yang diberi. Orang yang paling berhak menghormati seseorang adalah anak perempuan dan saudara perempuannya.”
- Mahar Bercampur dengan Jual Beli
Mahar bercampur dengan jual beli yang dimaksud seperti istri menyerahkan budak lelaki pada suaminya, kemudian suaminya membayar berupa seribu dirham untuk mahar istrinya, namun di dalamnya juga terdapat harga untuk membayar budak tersebut.
Imam Syafi’i dalam Al-Umm 10: Kitab Induk Fiqih Islam Edisi Terjemahan pernah menjelaskan, “Apabila seorang perempuan menikah dengan seorang lelaki dengan mahar berupa sesuatu yang tidak dapat dijadikan upah (ju’l), seperti ketika seseorang berkata, ‘Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya budak saya yang melarikan diri…’ atau dia berkata, ‘Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya unta milik saya yang melarikan diri…’ Jika itu yang terjadi, maka semua syarat itu hukumnya tidak boleh, tetapi pernikahan yang dilakukan itu tetap sah dan si istri berhak menerima mahar yang wajar baginya.”